Miskin Mendadak



Dylan seolah hanya terpaku pada majalah yang ia baca dan bawa ke sekolah. Dia tak memperhatikan teman-temannya yang ribut. Terganggu sih, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa karena dia kaum minoritas di kelasnya. Begitu juga dengan yang lain. Mungkin yang ribut hanya kelompoknya Nina.
Sebenarnya bila ada kesempatan, sungguh ia ingin melempar bibir salah satu temannya(sebenarnya orang yang tidak sengaja disatukan dalam kelas yang sama) yang bernama Nina dengan bangku kayu. Tapi ia tahu, segalanya dilindungi hukum. Begitu juga dengan yang lain, malah saat doa malam salah satu temannya, Glory, berdoa agar karma selalu bersama Nina setiap saat. Kalau bisa, cepat-cepat almarhumah.
Nina anak brandal yang sok high class, ditaktor kelas, dan umm… sulit dikategorikan sebagai manusia karena tidak memiliki akal budi. Dia memang seorang yang kaya dan wajahnya cukup cantik. Tetapi karena kelakuannya membuat siapapun merasa berdosa bila menyebutnya cantik.
“Bisa kalian hening sebentar? Pak Heru sebentar lagi ke sini! Berisik sekali!” seru Belinda, ketua kelas. Saking kesalnya, tak heran dia sering mengumpat Nina dalam hati. Dan, tak jarang Linda disindir dan dimaki Nina karena Nina sirik dengan Linda. Entahlah bagaimana jadinya bila Nina jadi ketua kelas.
Pak Heru tiba di kelas dengan setumpuk kertas latihan. Dylan segera memasukkan majalahnya ke dalam loker. Pak Heru memanggil Dylan untuk membagikan latihan matematika itu ke teman-temannya. Setelah dibagikan, tentu saja dikerjakan. Dylan mengerjakannya dengan santai, tetapi dia mendengar desisan dan ternyata itu Nina. Biasalah, minta jawaban dengan berbisik-bisik. Tetapi Dylan pura-pura tidak mengerti dan melupakannya. Ia tetap fokus ke latihannya.
Akhirnya jam terakhir, matematika yang membosankan itu usai dan artinya saatnya pulang! Tumben sekali Dylan lemas. Dia merebah di kamarnya dan kakak perempuannya, Diana. Dylan berbeda dengan Diana. Dylan lebih sembrono, tomboy, tapi lebih sabar. Tapi apapun itu, mereka sama-sama hobi tidur.
Sebuah sms masuk ke ponsel Dylan, ternyata dari Wendy, teman sekelasnya. “Entalah semua. Berita buruk bukan, gembira juga jahat sekali. Intinya, Nina kecelakaa! WOW! Kabarnya sih besok tidak masuk sekolah! :D” lalu Dylan membalas, “O.”

Esoknya, semua heboh menceritakan Nina. “Katanya sih Nina shock dengar ayahnya bangkrut trus mau bunuh diri. Eh, nggak taunya nggak jadi ko-it! Katanya tulang ekornya patah otomatis dia nggak di sini lagi dan pindah ke SLB kalau dia sudah membaik.” Jelas Danish, orang yang terpaksa menjadi teman se-gank Nina.
“Terus kalian mau nyumbang berapa nih untuk Nina?” tanya Bu Henny.
Semua saling menoleh, “Um… sebenarnya saya mau nabung, Bu.” kata Dylan. Dia tidak mau nyumbang, begitu dengan yang lain. Semua langsung mendadak miskin. “Yang penting ikhlas kan? Nah, kita nggak ada yang ikhlas….” tambah Danish.
“Astaga… kalau begitu kapan kalian jenguk?” tanya Bu Henny lagi.
“Yah, kita sibuk banyak ulangan. Mau belajar.” jawab Tere. Semua mendadak rajin belajar. Segitu bencinya mereka dengan Nina. Nina juga merasa tersinggung karena tidak ada yang menyumbang. Mungkin yang menyumbang hanya kelas 7 dan 8. Seluruh kelas 9 tidak ada yang menyumbang. Biayanya kurang dan menyebabkan penyembuhan Nina tidak optimal. Itu tidak menyebabkan kelas 9 kasihan ataupun menyesal. Malah kelas 9A sampai 9D tentram tanpa Si Buas, Nina. Nina akhirnya sekolah di SLB. Dia sudah berubah. Dia sadar semua temannya membencinya sehingga tak ada satupun yang mau membantunya. Tapi, kenapa dia sadarnya setelah matanya tak dapat melihat lagi? Bukankah lebih mudah memahami saat bisa melihat? Pain makes people change.

Komentar

Postingan Populer